Untuk memiliki
sebuah domain, maka kita haruslah mendaftar pada badan/lembaga/perusahaan yang
yang memiliki hak untuk menambahkan domain baru dibawah TLD yang sudah ada.
Lembaga ini disebut dengan Registrar. Bergantung kepada jenis TLD yang kita
inginkan, apakah global atau regional, kita bisa mendaftar kepada registrar
yang sesuai. Registrar untuk TLD global ada cukup banyak dan mereka mematok
harga yang cukup bervariasi, mulai dari dibawah USD 10 hingga yang termahal USD
35/domain/tahun, sedangkan TLD berbasis Indonesia sendiri dapat dibeli di situs
IDNIC seharga Rp. 150.000,- /domain/tahun.
Proses
registrasi akan memberikan akses ke control panel pada situs web registrar yang
bersangkutan dimana pemilik domain dapat melakukan pengesetan lebih lanjut,
terutama untuk mengaitkan domain miliknya dengan alamat IP host yang akan
menggunakan domain tersebut.
Sepintas biaya yang harus dikeluarkan untuk sebuah domain relatif kecil, namun dalam kenyataannya hal yang sebaliknya bisa saja terjadi. Apa pasal? Sebagai suatu identitas di dunia maya, domain memiliki peran yang signifikan bagi pelaku bisnis. Setiap pemilik domain tentu berharap agar nama domain mereka berkorelasi dengan nama perusahaan atau produk yang hendak ditampilkan melalui media internet. Ini tentu tidak menjadi masalah apabila domain yang diincar tersebut memang belum ada yang memiliki. Tapi kalau sudah? Tentu hanya ada dua alternatif. Yang pertama, adalah mencari domain lain yang juga cocok (dan belum ada yang punya), dan alternatif kedua adalah dengan membeli domain tersebut dari pemiliknya, tentu saja dengan harga yang ia minta.
Kenyataan semacam ini membuat domain sering dimanfaatkan sebagai objek spekulasi yang menguntungkan. Para “spekulan domain” bekerja dengan modus membeli domain-domain tertentu untuk kemudian dianggurkan dengan harapan suatu saat ada pihak yang membutuhkan domain tersebut dan kemudian bersedia membeli dengan harga tinggi. Aktifitas ini dikenal sebagai cybersquatting, dan pelakunya biasa disebut cybersquatter.
Sepintas biaya yang harus dikeluarkan untuk sebuah domain relatif kecil, namun dalam kenyataannya hal yang sebaliknya bisa saja terjadi. Apa pasal? Sebagai suatu identitas di dunia maya, domain memiliki peran yang signifikan bagi pelaku bisnis. Setiap pemilik domain tentu berharap agar nama domain mereka berkorelasi dengan nama perusahaan atau produk yang hendak ditampilkan melalui media internet. Ini tentu tidak menjadi masalah apabila domain yang diincar tersebut memang belum ada yang memiliki. Tapi kalau sudah? Tentu hanya ada dua alternatif. Yang pertama, adalah mencari domain lain yang juga cocok (dan belum ada yang punya), dan alternatif kedua adalah dengan membeli domain tersebut dari pemiliknya, tentu saja dengan harga yang ia minta.
Kenyataan semacam ini membuat domain sering dimanfaatkan sebagai objek spekulasi yang menguntungkan. Para “spekulan domain” bekerja dengan modus membeli domain-domain tertentu untuk kemudian dianggurkan dengan harapan suatu saat ada pihak yang membutuhkan domain tersebut dan kemudian bersedia membeli dengan harga tinggi. Aktifitas ini dikenal sebagai cybersquatting, dan pelakunya biasa disebut cybersquatter.
Banyak cerita
menarik yang berhubungan dengan aktifitas ini. Salah satu pihak yang pernah
merasakan “dikerjai” cybersquatter adalah Digital Corp. Sebuah perusaan
hardware ternama di AS. Bermula dari sebuah situs mesin pencari (search engine)
yang dikembangkan oleh pihak digital. Entah karena masih percobaan atau kurang
“pede” bersaing dengan situs mesin pencari lain yang sudah kondang, alamat
situs mesin pencari-yang dinamai Altavista-tersebut hanya ditempatkan sebagai
sebuah subdomain dari situs Digital. Belakangan ketika diluar dugaan mesin
pencari ini menjadi aplikasi yang begitu populer, terbersit niat dikalangan
para pengembangnya untuk membuatkan domain tersendiri untuk mesin pencari
tersebut dengan domain altavista.com. Celakanya, domain tersebut ternyata sudah
ada yang punya. Walhasil pihak Digital harus merogoh kocek hingga puluhan ribu
USD untuk menebus domain ini dari tangan sang spekulan.
Peristiwa serupa dialami oleh Amien Rais. Ketua MPR-RI ini terpaksa urung menggunakan domain amienrais.com untuk situs pribadinya yang baru dibuka tahun 2002 lalu karena domain tersebut sudah keburu disambar orang lain. Entah berapa tebusan yang diminta oleh sipemilik domain atau mungkin pak Amien sendiri yang tidak mau repot sehingga ia lebih memilih menggunakan domain e-amienrais.com.
Kisah yang tak kalah serunya dialami oleh sebuah grup band kondang dari tanah air sekitar awal tahun 2002 lalu. Bermula ketika webmaster yang diserahi menjaga situsnya lupa meng-update domain yang sudah kadaluwarsa. Hal ini belakangan berakibat fatal karena domain yang sudah kadaluwarsa tersebut lantas diambil alih seorang cybersquatter asal Hongkong dan diarahkan ke … situs porno! Belakangan sang pemilik baru menawarkan untuk mengembalikan domain tersebut ke pemilik semula. Tentu saja tawaran ini tidak gratis. Tidak tanggung-tanggung ia memasang bandrol hingga USD 8000 untuk domain tersebut.
Peristiwa serupa dialami oleh Amien Rais. Ketua MPR-RI ini terpaksa urung menggunakan domain amienrais.com untuk situs pribadinya yang baru dibuka tahun 2002 lalu karena domain tersebut sudah keburu disambar orang lain. Entah berapa tebusan yang diminta oleh sipemilik domain atau mungkin pak Amien sendiri yang tidak mau repot sehingga ia lebih memilih menggunakan domain e-amienrais.com.
Kisah yang tak kalah serunya dialami oleh sebuah grup band kondang dari tanah air sekitar awal tahun 2002 lalu. Bermula ketika webmaster yang diserahi menjaga situsnya lupa meng-update domain yang sudah kadaluwarsa. Hal ini belakangan berakibat fatal karena domain yang sudah kadaluwarsa tersebut lantas diambil alih seorang cybersquatter asal Hongkong dan diarahkan ke … situs porno! Belakangan sang pemilik baru menawarkan untuk mengembalikan domain tersebut ke pemilik semula. Tentu saja tawaran ini tidak gratis. Tidak tanggung-tanggung ia memasang bandrol hingga USD 8000 untuk domain tersebut.
Kasus serupa
(tapi tak sama) juga pernah terjadi di Indonesia antara situs mustikaratu.com,
situs resmi milik PT Mustika Ratu, sebuah perusahaan yang bergerak dibidang
obat-obatan tradisional, dengan mustika-ratu.com yang dimiliki oleh pihak lain.
Kasus ini bahkan bergulir hingga ke pengadilan dan konon tercatat sebagai kasus
hukum pertama yang berkaitan dengan penggunaan domain di Indonesia.
Namun kasus
pemelesetan domain yang paling fatal terjadi sekitar pertengahan tahun 2001
lampau, menimpa sebuah situs internet banking (i-banking) milik sebuah bank
papan atas di Indonesia. Kala itu seorang hacker, juga dari Indonesia, membuka
sejumlah situs dengan domain yang mirip dengan situs bank bersangkutan.
Berikutnya, dengan menjiplak isi situs asli ke dalam situs yang menggunakan
domain pelesetan tersebut, sang hacker berhasil menjaring ratusan nomor PIN
milik nasabah bank tersebut yang keliru melakukan transaksi i-banking di situs
yang menggunakan domain pelesetan miliknya. Para nasabah ini masuk ke situs
pelesetan tersebut karena salah mengetik alamat situs bank yang dituju.
Untungnya, sang hacker tidak berniat buruk. Konon tindakan itu hanya
dilakukannya untuk kegiatan penelitian. Begitu pula file yang menyimpan ratusan
data nasabah, termasuk nomor PIN, yang terjaring telah dimusnahkan dan tidak
sampai disalahgunakan.
Saran
Peristiwa
spekulasi domain maupun pemelesetan sebuah domain yang telah dikenal publik
seharusnya tidak sampai menimpa pemilik situs web berbasis Indonesia apabila
mereka menggunakan TLD regional Indonesia. Ini dikarenakan ketatnya prosedur
pendaftaran domain berbasis Indonesia sehingga sangat kecil kemungkinan adanya
penyalahgunaan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungawab. Tapi mungkin karena
faktor gengsi atau dianggap lebih bonafid, sehingga banyak pihak yang memilih
menggunakan domain global, dengan segala resiko dan konsekuensinya.
domain gratis gmana cara buatnya??
BalasHapus